Banjir Truk Luar DIY, Sopir Truk Pasir Protes
BANTUL–Ratusan sopir truk pengangkut pasir menggelar demonstrasi di
Lapangan Jodog Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak. Mereka memprotes
banyaknya truk luar DIY yang beroperasi mengambil pasir di sepanjang
Sungai Progo.
Sejumlah sopir ini meminta agar pemerintah melarang truk luar DIY mengambil pasir di Sungai Progo. Koordinator aksi Sigit Fajar mengatakan, banyaknya truk pasir dari luar daerah tersebut sangat merugikan keberadaan truk-truk asal Bantul dan kabupaten lain di DIY. Sebab, dengan banyaknya truk pasir dari luar DIY, harga pasir di tingkat penambang perlahan-lahan mengalami kenaikan.
Mereka khawatir, harga jual nanti tidak mampu terbeli oleh konsumen. “Sejak mereka (truk luar) banyak mengambil pasir di Sungai Progo, penambang terus menaikkan harga,”terangnya, kemarin. Kenaikan harga di tingkat penambang pasir ini tidak lepas dari aksi para sopir truk luar daerah yang berani membayar mahal kepada para penambang.
Akibatnya, para penambang pasir juga memberlakukan tarif yang sama antara truk asal DIY dengan luar DIY. Padahal, di tangan konsumen para sopir truk tidak berani menaikkan harga jual pasir tersebut. Maraknya truk-truk dari luar daerah tersebut dinilai merugikan para pengemudi truk lokal karena telah membuat harga pasir di tingkat penambang menjadi mahal.
Sebelum truk pasir dari luar daerah masuk harga beli pasir, para penambang pasir hanya menjual pasir mereka kepada sopir truk sekitar Rp250.000-300.000 per bak. “Lha sekarang setelah mereka masuk banyak penambang yang menaikkan harga pasir mencapai Rp900.000 per bak,” tuturnya.
Menurutnya, truk luar DIY bersedia membayar tinggi kepada para penambang karena mereka mampu menjual dengan harga tinggi di daerahnya. Sementara di satu sisi pengusaha truk local juga mengaku tidak dapat menaikkan harga pasir ke konsumen lokal. Karena jika dinaikkan mereka pasti mendapatkan komplain dan kehilangan pelanggan.
Kondisi itu dinilai sangat memberatkan bagi pengemudi truk lokal karena dari sisi ekonomi pengemudi truk lokal tidak mampu bersaing dengan truk dari luar daerah. Karena aksi dari pemilik truk luar DIY, kini pemilik truk DIY sukar mendapatkan pasir. Para penambang sekarang lebih memilih untuk melayani truk dari luar daerah. “Makanya kami menuntut kepada pemerintah untuk melarang truk luar DIY mengambil pasir langsung ke Sungai Progo. Mereka harus mengambil ke Depo,” tandasnya.
Karyanto, seorang pengemudi asal Kabupaten Gunungkidul mengaku kondisi ini sangat memberatkan bagi para pengusaha truk. Sebab, untuk mendapatkan satu bak pasir dia harus membayar Rp500.000- 600.000 dengan harga jual sekitar Rp800.000. Dengan harga seperti itu, konsumen saat ini banyak yang mengurungkan niatnya membeli pasir. “Saya jualnya hanya Rp800.000, itu sudah sangat mepet. Sedangkan para pengemudi truk dari luar daerah mampu menjual hingga Rp2 juta per bak,”ujarnya.
Aksi ratusan truk ini sempat membuat macet jalan Srandakan- Palbapang, sebab para sopir truk memarkir armada mereka di sepanjang jalan tersebut sebelum akhirnya diperintahkan masuk ke area lapangan oleh petugas Polres Bantul yang mengawal aksi tersebut. Setelah melakukan aksi di Lapangan Jodog, mereka lantas melanjutkannya ke gedung DPRD Bantul dan juga Pemerintah Daerah (Pemda) Bantul.
Sejumlah sopir ini meminta agar pemerintah melarang truk luar DIY mengambil pasir di Sungai Progo. Koordinator aksi Sigit Fajar mengatakan, banyaknya truk pasir dari luar daerah tersebut sangat merugikan keberadaan truk-truk asal Bantul dan kabupaten lain di DIY. Sebab, dengan banyaknya truk pasir dari luar DIY, harga pasir di tingkat penambang perlahan-lahan mengalami kenaikan.
Mereka khawatir, harga jual nanti tidak mampu terbeli oleh konsumen. “Sejak mereka (truk luar) banyak mengambil pasir di Sungai Progo, penambang terus menaikkan harga,”terangnya, kemarin. Kenaikan harga di tingkat penambang pasir ini tidak lepas dari aksi para sopir truk luar daerah yang berani membayar mahal kepada para penambang.
Akibatnya, para penambang pasir juga memberlakukan tarif yang sama antara truk asal DIY dengan luar DIY. Padahal, di tangan konsumen para sopir truk tidak berani menaikkan harga jual pasir tersebut. Maraknya truk-truk dari luar daerah tersebut dinilai merugikan para pengemudi truk lokal karena telah membuat harga pasir di tingkat penambang menjadi mahal.
Sebelum truk pasir dari luar daerah masuk harga beli pasir, para penambang pasir hanya menjual pasir mereka kepada sopir truk sekitar Rp250.000-300.000 per bak. “Lha sekarang setelah mereka masuk banyak penambang yang menaikkan harga pasir mencapai Rp900.000 per bak,” tuturnya.
Menurutnya, truk luar DIY bersedia membayar tinggi kepada para penambang karena mereka mampu menjual dengan harga tinggi di daerahnya. Sementara di satu sisi pengusaha truk local juga mengaku tidak dapat menaikkan harga pasir ke konsumen lokal. Karena jika dinaikkan mereka pasti mendapatkan komplain dan kehilangan pelanggan.
Kondisi itu dinilai sangat memberatkan bagi pengemudi truk lokal karena dari sisi ekonomi pengemudi truk lokal tidak mampu bersaing dengan truk dari luar daerah. Karena aksi dari pemilik truk luar DIY, kini pemilik truk DIY sukar mendapatkan pasir. Para penambang sekarang lebih memilih untuk melayani truk dari luar daerah. “Makanya kami menuntut kepada pemerintah untuk melarang truk luar DIY mengambil pasir langsung ke Sungai Progo. Mereka harus mengambil ke Depo,” tandasnya.
Karyanto, seorang pengemudi asal Kabupaten Gunungkidul mengaku kondisi ini sangat memberatkan bagi para pengusaha truk. Sebab, untuk mendapatkan satu bak pasir dia harus membayar Rp500.000- 600.000 dengan harga jual sekitar Rp800.000. Dengan harga seperti itu, konsumen saat ini banyak yang mengurungkan niatnya membeli pasir. “Saya jualnya hanya Rp800.000, itu sudah sangat mepet. Sedangkan para pengemudi truk dari luar daerah mampu menjual hingga Rp2 juta per bak,”ujarnya.
Aksi ratusan truk ini sempat membuat macet jalan Srandakan- Palbapang, sebab para sopir truk memarkir armada mereka di sepanjang jalan tersebut sebelum akhirnya diperintahkan masuk ke area lapangan oleh petugas Polres Bantul yang mengawal aksi tersebut. Setelah melakukan aksi di Lapangan Jodog, mereka lantas melanjutkannya ke gedung DPRD Bantul dan juga Pemerintah Daerah (Pemda) Bantul.
sumber :http://www.koran-sindo.com